PT DI Menjawab Tudingan Miring
22 Maret 2017
Pesawat NC-212i pesanan Filipina (photo : detik)
Arie Wibowo, Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia: ''Kita Industri, Bukan Broker''
Denda akibat keterlambatan produksi dan kerja sama dengan Airbus menjadi dua isu yang menerpa PT Dirgantara Indonesia. Walau begitu, perusahaan ini sudah bisa menjadi bagian dari rantai pasokan global industri dirgantara dunia
PT Dirgantara Indonesia sebagai pelaku industri strategis dalam negeri sedang menghadapi cobaan. Kemampuan pabrik pesawat terbang dan helikopter asal Bandung, Jawa Barat, ini dipertanyakan. Terutama setelah polemik pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 oleh TNI Angkatan Udara beberapa waktu lalu, yang bukan produksi PT DI. Perusahaan pelat merah ini diragukan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan helikopter, mulai dari komitmen ketepatan waktu pengiriman produk hingga pola kerja samanya dengan Airbus.
Fasilitas produksi pesawat sayap tetap (photo : defence.pk)
''Manusia kan tidak sempurna, program juga enggak sempurna. Itu risiko yang selalu kita hadapi,'' kata Direktur Produksi PTDI, Arie Wibowo, ketika ditemui Gatra di kantornya, Selasa kemarin.
Menurut pria yang sudah 32 tahun berkarier di PTDI itu, keterlambatan produksi memang terjadi. Namun, semua itu ada sebabnya. Bisa dari tanggal efektif kontrak berlaku, hingga ketersediaan dana ataupun suku cadang komponen. Keterlambatan itu punya konsekuensi, yakni penalti atau denda. Meski tidak semuanya demikian. ''Ada yang tidak kena, karena bukan kesalahan kita,'' kata Arie, saat diwawancarai Cavin R. Manuputty dan Jennar Kiansantang dari Gatra.
Benarkah PTDI terlambat memproduksi enam helikopter EC 725 pesanan TNI AU?
Kita on time di enam helikopter ini. Bahkan kita malah ahead (lebih cepat) to schedule.
Bukankah pemesanan itu sejak 2012 dan seharusnya dikirim semua pada 2014?
Harusnya tahun kemarin (2016) dua, tahun ini (2017) empat. Itu menurut kontrak ya. Kalau mau, buka kontraknya. Jangan lupa ya, contract signed bukan berarti efektif. Itu kuncinya.
Fasilitas produksi helikopter (photo : defence.pk)
Bedanya apa?
Pembelian pemerintah itu memakai loan. Kontrak dinyatakan efektif apabila loan disetujui. Loan itu diambil dari luar negeri. Kemudian disetujui Kementerian Keuangan, dikonfirmasikan ke Kementerian Pertahanan. Kemudian LC dibuka, kemudian dinyatakan kontrak itu efektif. Jadi, bukan terlambat sebetulnya, karena kontraknya belum efektif. Bisa saja, si pembeli tanda tangan kontrak 2012. Kalau efektif 2013, tidak bisa dihitung dari 2012. Harus dihitung dari kontrak itu efektif.
Pola pembayaran ini selalu terjadi dengan Kementerian Pertahanan atau dalam kontrak tertentu saja?
Dengan Kemhan ini untuk pesanan yang besar-besar, nilainya sampai jutaan dolar, biasanya pakai kredit ekspor. APBN dipakai untuk uang muka atau pendamping.
Kalau misalnya pakai kredit ekspor, negara yang setuju kredit ekspor itu negara yang mana?
Negara produsen pesawatnya.
Kemhan itu kan negara Indonesia, beli dari PT DI. Bayar pakai kredit ekspor. Artinya, yang setuju Indonesia?
Enggak. Kita kan kerja sama dengan Airbus Helicopter. Gak perlu dipelintir.
Kita kan beli dari dalam negeri, kok kita seolah beli dari luar negeri?
Iya, karena memang ada porsi dari luar negeri. Sekalipun saya beli CN 235. One hundreds percent produksi Indonesia. Tapi ada komponen yang saya bilang tadi, Eropa punya, Amerika punya itu. So kembali lagi. Ini produk Indonesia, diintegrasikan atau diproduksi di Indonesia. Tapi tetap ada komponen milik negara lain. Dan, kita punya hak untuk dapatkan kredit ekspor dari luar negeri. Karena bank dalam negeri belum tentu mau.
Apa alasan terjadinya jeda waktu antara penandatanganan kontrak dan kontrak efektif?
Karena Menteri Keuangan punya tata cara loan agreement. Bisa sebulan, tiga bulan, bahkan bisa satu tahun.
Pada akhirnya, PTDI kena penalti kan, kalau terlambat?
Iya. Apabila sudah melewati waktu yang diperjanjikan sejak kontrak efektif, bukan kontrak ditandatangani. Kalau ada orang luar bilang kontrak ditandatangani 2012 dan harusnya 2014 jadi, padahal enggak pernah baca kontraknya, itu namanya ignorancy. Atau memang sengaja dipelintir untuk bilang PTDI goblok, tidak efisien, dan lain sebagainya. Tapi EC 725 tidak delay, bisa dicek.
Mengapa produksinya bisa lebih cepat ketimbang jadwal? Berarti belum ada uang tapi sudah dibikin dulu?
Itu tadi, kita kan selalu harus curi start. Begitu kontrak signed, bisa on delivery. Itu pernah kita kerjakan, pernah disetop juga sama Kementerian BUMN. Kita tidak boleh mengadakan apa pun kalau belum ada kontrak.
Tapi kenyataanya, tetap ada denda pada PTDI akibat keterlambatan?
Mungkin ada yang kena denda, kita terlambat memang terjadi. Ada juga yang terlambat, tapi tidak kena denda. Karena memang bukan kesalahan kita.
Apakah denda itu mengganggu keuangan perusahaan?
Secara umum any penalty mengganggu neraca perusahaan. Tapi some penalty sudah dimasukan dalam risiko analisa kita. Dicadangkan untuk bisa di-absorb dalam harga jual. Manusia kan enggak sempurna, program juga enggak sempurna. Itu risiko yang selalu kita hadapi.
Bagaimana kerja sama PTDI dengan Airbus? Apakah mereka terlalu dominan?
Kita tidak monopoli dengan Airbus. Kalau Airbus, Boeing mencoba memonopoli negara-negara maju dan punya duit, Itu sudah normatif. Bahkan AgustaWestland pun ingin masuk ke dalam pasar Indonesia. Itu bisnis normal.
Kapan AgustaWestland mendekati?
Saya sudah beberapa kali bertemu mereka. Tapi maksud saya, bukan karena mau jualan, baru mendekati saya. Kerja sama harus dikembangkan dari awal. Tidak instan kayak gitu, jadi dalam satu tahun. Kita harus kembangkan infrastrukturnya, latih orang-orangnya. Kerja sama itu bukan berarti dia investasi semua, kita sendiri mesti investasi.
Siapa saja boleh bekerja sama dengan PTDI?
Intinya begitu. Boleh-boleh saja. Tapi business proposal-nya mau seperti apa? Berikan juga ke KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan), karena kami mesti kembali ke KKIP. Workable plan-nya seperti apa. Semua harus ada mutual benefit untuk kedua belah pihak.
Sejauh ini, apa saja yang sudah diperoleh PTDI dari Airbus?
Kita sudah mendapat ilmu-ilmu dari Airbus. Untuk bisa merawat, setidaknya helikopter-helikopter yang dibeli Angkatan. Selain itu, PTDI sekarang jadi pemasok EC 275. 15 tailboom tambah 8 fuselage per tahun. PTDI juga memasok komponen Airbus, masuk dalam global supply chain mereka. So we are industries. Bukan broker yang mencoba memperlihatkan kita mau dapatkan ToT (transfer of technology).
Jadi bukan cuma tukang cat dan ketok ya?
Kalau enggak saya mati. Kalau kerjanya cuma ngecat dan ngetok saya tinggal di Cibubur atau Pondok Cabe aja. Ngapain perusahaan segede gini.
(Gatra)
Pesawat NC-212i pesanan Filipina (photo : detik)
Arie Wibowo, Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia: ''Kita Industri, Bukan Broker''
Denda akibat keterlambatan produksi dan kerja sama dengan Airbus menjadi dua isu yang menerpa PT Dirgantara Indonesia. Walau begitu, perusahaan ini sudah bisa menjadi bagian dari rantai pasokan global industri dirgantara dunia
PT Dirgantara Indonesia sebagai pelaku industri strategis dalam negeri sedang menghadapi cobaan. Kemampuan pabrik pesawat terbang dan helikopter asal Bandung, Jawa Barat, ini dipertanyakan. Terutama setelah polemik pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 oleh TNI Angkatan Udara beberapa waktu lalu, yang bukan produksi PT DI. Perusahaan pelat merah ini diragukan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan helikopter, mulai dari komitmen ketepatan waktu pengiriman produk hingga pola kerja samanya dengan Airbus.
Fasilitas produksi pesawat sayap tetap (photo : defence.pk)
''Manusia kan tidak sempurna, program juga enggak sempurna. Itu risiko yang selalu kita hadapi,'' kata Direktur Produksi PTDI, Arie Wibowo, ketika ditemui Gatra di kantornya, Selasa kemarin.
Menurut pria yang sudah 32 tahun berkarier di PTDI itu, keterlambatan produksi memang terjadi. Namun, semua itu ada sebabnya. Bisa dari tanggal efektif kontrak berlaku, hingga ketersediaan dana ataupun suku cadang komponen. Keterlambatan itu punya konsekuensi, yakni penalti atau denda. Meski tidak semuanya demikian. ''Ada yang tidak kena, karena bukan kesalahan kita,'' kata Arie, saat diwawancarai Cavin R. Manuputty dan Jennar Kiansantang dari Gatra.
Benarkah PTDI terlambat memproduksi enam helikopter EC 725 pesanan TNI AU?
Kita on time di enam helikopter ini. Bahkan kita malah ahead (lebih cepat) to schedule.
Bukankah pemesanan itu sejak 2012 dan seharusnya dikirim semua pada 2014?
Harusnya tahun kemarin (2016) dua, tahun ini (2017) empat. Itu menurut kontrak ya. Kalau mau, buka kontraknya. Jangan lupa ya, contract signed bukan berarti efektif. Itu kuncinya.
Fasilitas produksi helikopter (photo : defence.pk)
Bedanya apa?
Pembelian pemerintah itu memakai loan. Kontrak dinyatakan efektif apabila loan disetujui. Loan itu diambil dari luar negeri. Kemudian disetujui Kementerian Keuangan, dikonfirmasikan ke Kementerian Pertahanan. Kemudian LC dibuka, kemudian dinyatakan kontrak itu efektif. Jadi, bukan terlambat sebetulnya, karena kontraknya belum efektif. Bisa saja, si pembeli tanda tangan kontrak 2012. Kalau efektif 2013, tidak bisa dihitung dari 2012. Harus dihitung dari kontrak itu efektif.
Pola pembayaran ini selalu terjadi dengan Kementerian Pertahanan atau dalam kontrak tertentu saja?
Dengan Kemhan ini untuk pesanan yang besar-besar, nilainya sampai jutaan dolar, biasanya pakai kredit ekspor. APBN dipakai untuk uang muka atau pendamping.
Kalau misalnya pakai kredit ekspor, negara yang setuju kredit ekspor itu negara yang mana?
Negara produsen pesawatnya.
Kemhan itu kan negara Indonesia, beli dari PT DI. Bayar pakai kredit ekspor. Artinya, yang setuju Indonesia?
Enggak. Kita kan kerja sama dengan Airbus Helicopter. Gak perlu dipelintir.
Kita kan beli dari dalam negeri, kok kita seolah beli dari luar negeri?
Iya, karena memang ada porsi dari luar negeri. Sekalipun saya beli CN 235. One hundreds percent produksi Indonesia. Tapi ada komponen yang saya bilang tadi, Eropa punya, Amerika punya itu. So kembali lagi. Ini produk Indonesia, diintegrasikan atau diproduksi di Indonesia. Tapi tetap ada komponen milik negara lain. Dan, kita punya hak untuk dapatkan kredit ekspor dari luar negeri. Karena bank dalam negeri belum tentu mau.
Apa alasan terjadinya jeda waktu antara penandatanganan kontrak dan kontrak efektif?
Karena Menteri Keuangan punya tata cara loan agreement. Bisa sebulan, tiga bulan, bahkan bisa satu tahun.
Pada akhirnya, PTDI kena penalti kan, kalau terlambat?
Iya. Apabila sudah melewati waktu yang diperjanjikan sejak kontrak efektif, bukan kontrak ditandatangani. Kalau ada orang luar bilang kontrak ditandatangani 2012 dan harusnya 2014 jadi, padahal enggak pernah baca kontraknya, itu namanya ignorancy. Atau memang sengaja dipelintir untuk bilang PTDI goblok, tidak efisien, dan lain sebagainya. Tapi EC 725 tidak delay, bisa dicek.
Mengapa produksinya bisa lebih cepat ketimbang jadwal? Berarti belum ada uang tapi sudah dibikin dulu?
Itu tadi, kita kan selalu harus curi start. Begitu kontrak signed, bisa on delivery. Itu pernah kita kerjakan, pernah disetop juga sama Kementerian BUMN. Kita tidak boleh mengadakan apa pun kalau belum ada kontrak.
Tapi kenyataanya, tetap ada denda pada PTDI akibat keterlambatan?
Mungkin ada yang kena denda, kita terlambat memang terjadi. Ada juga yang terlambat, tapi tidak kena denda. Karena memang bukan kesalahan kita.
Apakah denda itu mengganggu keuangan perusahaan?
Secara umum any penalty mengganggu neraca perusahaan. Tapi some penalty sudah dimasukan dalam risiko analisa kita. Dicadangkan untuk bisa di-absorb dalam harga jual. Manusia kan enggak sempurna, program juga enggak sempurna. Itu risiko yang selalu kita hadapi.
Bagaimana kerja sama PTDI dengan Airbus? Apakah mereka terlalu dominan?
Kita tidak monopoli dengan Airbus. Kalau Airbus, Boeing mencoba memonopoli negara-negara maju dan punya duit, Itu sudah normatif. Bahkan AgustaWestland pun ingin masuk ke dalam pasar Indonesia. Itu bisnis normal.
Kapan AgustaWestland mendekati?
Saya sudah beberapa kali bertemu mereka. Tapi maksud saya, bukan karena mau jualan, baru mendekati saya. Kerja sama harus dikembangkan dari awal. Tidak instan kayak gitu, jadi dalam satu tahun. Kita harus kembangkan infrastrukturnya, latih orang-orangnya. Kerja sama itu bukan berarti dia investasi semua, kita sendiri mesti investasi.
Siapa saja boleh bekerja sama dengan PTDI?
Intinya begitu. Boleh-boleh saja. Tapi business proposal-nya mau seperti apa? Berikan juga ke KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan), karena kami mesti kembali ke KKIP. Workable plan-nya seperti apa. Semua harus ada mutual benefit untuk kedua belah pihak.
Sejauh ini, apa saja yang sudah diperoleh PTDI dari Airbus?
Kita sudah mendapat ilmu-ilmu dari Airbus. Untuk bisa merawat, setidaknya helikopter-helikopter yang dibeli Angkatan. Selain itu, PTDI sekarang jadi pemasok EC 275. 15 tailboom tambah 8 fuselage per tahun. PTDI juga memasok komponen Airbus, masuk dalam global supply chain mereka. So we are industries. Bukan broker yang mencoba memperlihatkan kita mau dapatkan ToT (transfer of technology).
Jadi bukan cuma tukang cat dan ketok ya?
Kalau enggak saya mati. Kalau kerjanya cuma ngecat dan ngetok saya tinggal di Cibubur atau Pondok Cabe aja. Ngapain perusahaan segede gini.
(Gatra)
0 Response to "PT DI Menjawab Tudingan Miring"
Post a Comment